Oleh : Saiful Huda Ems.
Hajatan besar demokrasi Indonesia lima tahunan sekali tak lama lagi akan segera tiba. Jika kita lihat agenda yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, pemungutan suara untuk Pemilihan Umum serentak akan jatuh pada Hari Rabu, 14 Februari 2024. Muncullah kemudian tokoh-tokoh populer yang akan mengawali dan menyemarakkan hajatan besar demokrasi Indonesia lima tahunan sekali ini. Ada nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Dr. H. Moeldoko, Erick Tohir, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto dll.
Keadaan yang demikian menjadikan suasana perpolitikan Indonesia mulai terasa memanas, beberapa persoalan baik di pusat maupun di daerah diangkat menjadi persoalan nasional, publik pun ribut dan masing-masing pihak yang berkepentingan dengan PEMILU 2024 nampaknya saling memanfaatkan keadaan. Ada yang menggoreng isu untuk mendiskreditkan salah satu tokoh potensial Capres 2024, ada pula yang malah berusaha untuk semakin mengorbitkan nama sang tokoh populer tersebut, semuanya sah dalam pandangan politik dan demokrasi, sepanjang tidak ada pelanggaran hukum yang ditutupi dari berbagai kasus atau peristiwa itu.
Yang menjadi pertanyaan dan layak untuk kita angkat persoalannya disini, adalah munculnya nama-nama tokoh populer yang akan menyemarakkan bursa Capres 2024 tersebut tidak semuanya mempunyai afiliasi dengan Partai Politik, meskipun sebagian ada yang merupakan kader dari partai politik, namun mereka nampaknya berada dalam posisi tidak aman untuk diusung menjadi Capres 2024 dari partai politiknya sendiri. Hal yang demikian menjadi sesuatu yang wajar untuk dipertanyakan, kenapa partai politik umumnya hanya bersemangat untuk mengusung figur Capres dari pucuk-pucuk pimpinannya sendiri, dan tidak bersemangat untuk mengusung figur dari kalangan kader di bawah yang potensial, apalagi kader di luar partainya yang didukung masyarakat luas?
Pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu tentunya akan memunculkan pertanyaan yang baru pula, yakni apakah partai-partai politik di negeri ini telah gagal untuk melakukan pengkaderan, hingga figur-figur potensial dari partai politik yang selalu diusung untuk menjadi capres hanya itu-itu saja? Tak heran jika kemudian masyarakatpun seakan telah memberinya perlawanan pada partai-partai politik itu, yakni munculnya figur-figur potensial di luar partai politik yang ada dan didukung oleh rakyat itu pula. Untuk menjawab semua ini, kita kemudian bisa menelusuri kontribusi partai politik untuk menghasilkan manusia-manusia adiluhung yang pantas untuk dijadikan Pemimpin Nasional 2024. Dan nampaknya sampai detik ini hal itu tidak terlihat jua, karenanya figur-figur politisi di luar partai politik (atau setidaknya yang belum diusung oleh partai politik) nampaknya lebih populer dan lebih di terima oleh masyarakat.
Ganjar Pranowo yang hingga detik ini belum secara resmi diusung oleh PDIP nampak lebih populer dan lebih dipilih oleh masyarakat dibanding dengan Puan Maharani yang nampak lebih dijagokan oleh PDIP. Dr. H. Moeldoko, Ahok, Anies Baswedan, Erick Tohir, Ridwan Kamil dll. nampak lebih unggul, meroket dibanding Airlangga Hartarto, AHY dll. yang menguasai partai politik. Sedangkan Prabowo yang diusung menjadi Capres oleh Partai Gerindra dari masa ke masa, justru lebih menunjukkan kegagalan pengkaderan partai Gerindra daripada keberhasilan membuahkan calon-calon hebat untuk kepemimpinan nasionalnya. Tokoh-tokoh populer yang dijagokan oleh semua partai politik itu nampak jelas tidak sebanding dengan elektabilitasnya, disini mau tidak mau, suka tidak suka kita harus berani katakan bahwa partai politik harus semakin berbenah diri.
Dari sisi kinerja orang-orang hebat di pentas nasional ataupun daerah, mayoritas juga justru bukanlah orang-orang dari partai politik, atau setidaknya tidak memiliki citra yang kental atau tidak dominan dari partai politik tertentu, walaupun dalam kenyataannya bisa jadi mereka sebenarnya juga sudah berafiliasi dengan partai politik tertentu. Kita lihat misalnya Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono, Dr. H. Moeldoko, Erick Tohir, Mahfud MD, dll. Khusus untuk Pak Moeldoko kami sebut seperti itu, karena sampai detik ini pemerintah belum mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat pimpinan Pak Moeldoko, karenanya disini beliau kami kategorikan sebagai figur potensial diluar partai politik.
Dari semua yang saya uraikan di atas, menjadi jelaslah jika kemudian saya harus berani katakan, bahwa konfigurasi bursa Capres 2024 mendatang, akan lebih bijaksana jika partai politik harus berani berbenah dalam proses pengkaderan dan perbaikan kinerja bagi masing-masing kadernya yang menjadi pejabat negara, dengan terlebih dahulu berani mengusung figur-figur potensial dari dalam maupun dari luar partainya untuk memenangkan kontestasi PILPRES dan PEMILU serentak 2024. Memaksakan diri mengusung figur-figur dari pucuk pimpinan partainya sendiri yang tidak disukai rakyat, justru akan menjadi malapetaka bagi partai politiknya sendiri. Maka jika tidak ingin terjun bebas dalam perolehan suara di Pemilu 2024, mulailah berani menyeleksi calon-calon presiden dan kepala daerah serta anggota dewan yang potensial.
16 Februari 2022.
Saiful Huda Ems (SHE), Lawyer dan Pengamat Politik.