Kota Metro, (titikfocus) – Hak kepemilikan atas tanah, sewaktu-waktu dapat terjadi peralihan hak dan yang umum terjadi peralihan tersebut terjadi karena adanya jual beli tanah antara pemilik tanah dengan pembeli.
Supardy Marbun Direktur Sengketa Konflik Wilayah 1, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatakan tidak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui apa saja yang perlu dilakukan dalam jual beli tanah, akibatnya banyak masyarakat yang merasa dirugikan akibat transaksi jual beli tanah.
Pertama adalah memastikan keaslian tanda bukti hak atas tanah di Kantor Pertanahan tempat lokasi tanah Anda berada.
Kedua, buatlah Akta Jual Beli (AJB) tanah yang dibuat di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas di wilayah lokasi tanah, jangan menggunakan PPAT di luar wilayah kewenangan kerjanya.
Ketiga, jika penjual akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan dan akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu maka diperlukan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PBJB) di hadapan Notaris, karena PBJB yang dihadapan notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sesuai dengan Pasal 1870 KUH Perdata.
Keempat, apabila penjual sudah menikah, maka tanah dan bangunan akan menjadi harta bersama, sehingga penjualan tanah tersebut harus atas dasar persetujuan suami/istri dengan penandatanganan surat persetujuan khusus, atau turut menandatangani AJB. Apabila suami atau istri sudah meninggal, dapat dilakukan dengan melampirkan surat keterangan kematian dari kantor kelurahan.
Kelima, penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh) dan pembeli harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut Pajak Penjual (PPh) = Harga Jual x 2,5 %, Pajak Pembeli (BPHTB) = {Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak} x 5%, Pembeli dan Penjual kemudian juga membayar pembuatan AJB di PPAT yang pada umumnya akan ditanggung bersama atau jika kedua belah pihak bersepakat ditanggung oleh salah satu pihak yang nilainya maksimal 1% dari harga transaksi tanah.
Namun berbeda yang dialami oleh AH (41), warga Kelurahan Karang Rejo, Kecamatan Metro Utara, Kota Metro, Provinsi Lampung.
Pada tahun 2019 tepatnya Juni, AH membeli sebidang tanah di Kelurahan Karang Rejo Kecamatan Metro utara, dimana AH membeli dari seorang Lurah Karang Rejo, pada saat itu dijabat oleh inisial Y, saat ini oknum inisial Y bertugas di Satuan Pol PP Kota Metro.
“Saat itu saya membeli sebidang tanah ukuran 11×8 ( lebar 11 meter, dan panjang 8 meter ) dengan harga 15 juta pada tahun 2019. Pada saat menjual, Pak inisial Y tidak memperlihatkan legalitas apa pun, baik sertifikat, Girik atau lainnya, dia hanya memperlihatkan peta lokasi tanah, dan kita disuruh memilih. Di kuitansi hanya 10 juta, yang 5 juta masih sama Pak Y.
Saya membeli dari Tahun 2019, namun hingga saat ini sertifikat tanah belum kami terima atau tidak jelas. Dibilang belum jadi, tapi sudah kita tanyakan dengan pihak kelurahan yakni Pak inisial R, dinyatakan daftar nama kami tidak ada,” jelasnya, Minggu (27/02).
Terkait jual beli tersebut, AH pun memberikan bukti-bukti kuitansi penyerahan uang.
”Untuk bukti-bukti kuitansi, saya ada semua dan tidak hanya saya saja, masih banyak yang lainnya yang membeli tanah, tapi tidak ada sertifikatnya hingga saat ini. Kami sudah beberapa kali menanyakan kepada yang jual tanah kepada kami, Y menjawab untuk sabar masih di proses. Terakhir sebulan lebih ini lah saya ketemu Pak Y, untuk ukur tanah, saya minta sama dia segera keluarkan sertifikat saya, jawab dia sabar nanti saya daftarkan AJB. Tapi hingga saat ini, sampai 1 bulan terkahir ini tidak ada kabar lagi,” keluhnya.
Sebagai warga Kota Metro yang paham akan aturan hukum dan UU, AH menyampaikan harapan dan keinginan atas haknya, terkait pembelian sebidang tanah di Karang Rejo, Kecamatan Metro Utara.
”Harapan saya segera di selesaikan surat-surat tanah saya, agar saya mendapatkan legalitas hukum yang pasti, apalagi tanah tersebut sudah saya bangunkan rumah dan saya membelinya berjalan hampir 3 ( tiga ) Tahun ini bertepatan bulan 6 ( enam ) tepat tiga tahun.
Jika saya tunggu dalam waktu dekat ini surat tanah saya tidak jadi, saya akan bertanya lebih lanjut, saya akan meminta tanggung jawabnya dengan cara pengembalian kerugian saya, Karena saya sudah bangun rumah di lokasi tanah tersebut. Dalam hal ini saya tidak bertanya sama pihak Kecamatan dan Kelurahan, Karena saya mempercayai pak Y,” ulasnya.
Untuk mengetahui secara pasti, AH bersama temannya menemui inisial R selaku aparatur kelurahan setempat, guna memastikan tentang masuk atau tidaknya lahan yang AH beli dari inisial Y dalam program Prona. Sebab Y berdalih, sertifikat tanah tersebut akan dimasukkan dalam program Prona.
“Kami sudah bertemu dengan pak R, pak R yang urus Prona, dan saya datengin dengan teman saya sekira 3 ( tiga ) bulan yang lalu. Dan yang dia bisa buktikan, nama yang ada di dalam draf nama yang ditunjukan Pak Rohmadi. Sedangkan, nama saya dan beberapa lainnya tidak ada di dalam draf nama program Prona, sementara ini dari tahun 2019,” kesal AH.
Terhitung sejak Juni 2019 hingga saat ini, tanah yang dijual tersebut tanpa legalitas yang jelas, hanya diperlihatkan sebuah gambar bidang tanah saja.
“Jadi intinya mereka menjual ke saya tanpa legalitas yang jelas. Hanya menunjukan peta. Dan pada Tanggal 26 Februari 2022, saya menghubungi Pak R melalui WA, ia jawab coba tanya pak Y dulu,” pungkasnya. (Crd).