Bandar Lampung, (titikfocus) – Kuasa Hukum mantan suami inisial SA, Fajar Arifin SH, angkat bicara terkait bantahan di sejumlah media yang disampaikan oleh Kuasa Hukum inisial RH yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Metro, soal kasus dugaan penggelapan satu unit rumah, Senin (21/07).
Fajar menjelaskan, di dalam Undang-Undang perkawinan secara jelas menyebutkan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, seperti yang tertuang dalam Pasal 35 ayat 1 UU No 1/1974.
“Nah, ada dua cara untuk memperoleh harta gono-gini, yang pertama disepakati bersama secara kekeluargaan atau diputus lewat pengadilan,” ujarnya.
Meski belum dibagi, pihaknya menyebut semua harta yang diperoleh selama perkawinan berstatus sebagai harta yang dimiliki oleh kedua belah pihak, tidak ada yang boleh menjual tanpa mendapat persetujuan dari pihak lain.
“Dalam kasus ini, Ria Hartini sudah menjual 1 unit rumah yang ada di Jl. Kimaja, Bandar Lampung tanpa sepengetahuan dan izin dari mantan suami.
Makanya laporan pidana dilakukan, karena sifatnya sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Kalau tidak, bisa saja satu persatu harta milik bersama itu berpindah ke pihak lain,” jelas Fajar.
Lebih lanjut, terkait adanya surat perjanjian yang ditandatangani oleh RH dan SA, yang mana surat tersebut terdiri dari 10 poin perjanjian salah satunya mentiadakan hak SA untuk menuntut harta gono-gini, Kuasa Hukum SA dengan tegas membebeberkannya.
“Ada statemen yang mengatakan bahwa adanya surat perjanjian bersama yang di tandatangani oleh RH dan SA. Itu terdiri dari 10 poin yang dituangkan didalam surat perjanjian, salah satu poin perjanjian disitu SA tidak berhak menuntut harta gono gini.
Atas surat ini, klien kami menyatakan tidak pernah menandatanganinya. berarti tandatangan syamsul sudah dipalsukan dong.
Jadi ada dugaan tindak pidana lagi disini, seperti yang diatur dalam pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat bisa ayat 1 atau ayat 2 nya,” ungkapnya.
Fajar juga menerangkan, sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 263 KUHP ayat (1), Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
“Kita harus uji tandatangan yang diklaim mereka sebagai surat perjanjian bersama sebelum perceraian.
Dalam waktu dekat ini, tidak menutup kemungkinan akan melaporkan ke polisi soal 263 ini,” tutup Fajar. (rls).